KATACARA, JAKARTA- Pada masa Ottoman Empire, wakaf berkembang dengan sangat luas. Orang-orang pada masa itu lahir di rumah wakaf. Setiap orang tidur di atas ranjang-ranjang aset wakaf, makan dan minum dari properti wakaf , membaca buku-buku bacaan dari hasil perkembangan wakaf, belajar di sekolah wakaf, beribadah di masjid wakaf, bahkan mendapatkan gaji dari hasil pemanfaatan aset wakaf wakaf . Hingga ketika seseorang meninggal, dikuburnya pun di tanah wakaf.
Maka, dari situ dapat dilihat bahwa pada masa Ottoman Empire, wakaf dapat dimanfaatkan ke dalam segala bidang yang menjadi aktivitas manusia sejak lahir hingga meninggal. Di antaranya ada pada bidang kesehatan, sosial, kebutuhan pokok, pendidikan, ibadah, hingga makam dari aset wakaf. Maka benar dikata, bahwa wakaf dapat membantu pemerintah mengurangi pengeluaran negara. Prof. Dr. Raditya Sukmana SE., MA, Guru Besar Universitas Airlangga adalah salah satu orang yang setuju dengan pernyataan ini.
Pada acara Webinar Wake Up Wakaf “Hijrah dan Kebangkitan Ekonomi Berbasis Wakaf” yang diselenggarakan secara daring, pada Kamis kemarin (7/10/2021), ia mengatakan, “Saya setuju dengan pendapat bahwa jika ingin membantu pemerintah mengurangi ekspeditur atau pengeluaran negara, maka kembangkan wakaf. Apabila ingin keluar atau terhindar dari riba, maka kembangkanlah wakaf.”
Hal tersebut sebab apabila orang-orang kaya banyak membangun sekolah, rumah sakit, pasar, dan infrastruktur-infrastruktur lainnya, maka pengeluaran pemerintah akan berkurang karena kegiatan-kegiatan sosial sudah dibiayai oleh masyarakat. Yang mulanya pengeluaran pemerintah itu defisit karena lebih besar dari pendapatan, akan memperkecil pengeluaran tersebut.
Dari contoh pengelolaan wakaf sebagai tiang keuangan pada masa Ottoman Empire, dapat disimpulkan bahwa wakaf memiliki fleksibilitas dalam pemanfaatan dan pendistribusiannya. Termasuk dalam hal-hal perkembangan teknologi dan juga aktivitas-aktivitas kecil masyarakat. Dengan begitu, maka potensi wakaf untuk menstabilkan ekonomi sangatlah besar.
Raditya Sukmana mencontohkan, hal yang mungkin jarang diketahui orang adalah wakaf dalam bentuk bidang energi. Amana (Waqf Fund Management) mengubah masjid Hassan Bin Thabit di wilayah A’Seeb, provinsi Muskat, menjadi masjid bertenaga surya yang beroperasi di siang hari. proyek ini mengurangi konsumsi daya hingga 40% dan dapat menghemat daya sebesar 2%. masjid yang menempati area seluas 130 meter persegi ini menggunakan panel surya berkekuatan 10 Kilowatt yang dipasang berkat bekerjasama dengan perusahaan kecil dan menengah.
Kebutuhan masyarakat Indonesia untuk membangun sosial ekonomi negara sangat besar. Potensinya pun sudah ada. Namun diperlukan penggerakkan lebih banyak lagi. Pada masa Turki Usmani, sedekah telah menjadi lifestyle bagi warganya. Saat mereka nongkrong, di sebuah kafe misalnya, yang terbesit setelahnya adalah ajakan untuk keluar mencari orang miskin, kemudian dibantu. Ada juga ketika mereka membeli roti, 6 (enam) bungkus misalnya, namun yang diambil hanya 5 (lima). Satunya dimasukkanlah ke dalam sebuah boks makanan yang di situ sudah tertulis ‘Bagi yang Butuh, Silahkan Ambil’.
Meski begitu, warga yang miskin tidak langsung mengambil semua yang ada di kotak atau kantong tersebut. Mereka hanya mengambil yang dibutuhkan pada saat itu saja. Sebab, mereka tau bahwa jika besok tidak mampu memenuhi kebutuhannya lagi, maka mereka dapat datang kembali ke toko tersebut yang tentu sedia roti yang memang disedekahkan oleh orang baik untuknya.
Seperti itulah nuansa lifestyle filantropi. Hal tersebut yang sedang diupayakan oleh Dompet Dhuafa, yaitu menjadikan kegiatan wakaf sebagai lifestyle seperti halnya ngopi.