Katacara, Jakarta, – Di HUT BNI yang ke-77 kemarin, kelompok lingkungan mengutarakan kekecewaannya terhadap Bank BNI atas keputusannya mendanai proyek PLTU batu-bara baru sebesar 1.1 Gigawatt, yang akan digunakan untuk mensuplai listrik ke smelter aluminium milik Adaro di Kawasan Industri “Hijau” Kalimantan Utara.
Keputusan tersebut menunjukkan kemunduran dalam upaya pendanaan berkelanjutan Bank BNI. International Energy Agency menyatakan bahwa untuk mencapai Net Zero di tahun 2050 seharusnya sudah tidak ada PLTU batu-bara baru sejak 2021 untuk membatasi laju kenaikan suhu bumi di bawah 1.5 derajat celsius.
Pada bulan September tahun lalu, BNI menyatakan bahwa bank tersebut tidak berencana ekspansi ke sektor batu-bara.
“Keputusan BNI untuk mendanai proyek ini adalah kemunduran yang sangat besar bagi pendanaan keberlanjutan. BNI mengingkari janji mereka sendiri dengan menandatangani perjanjian pinjaman ini,” Suriadi Darmoko, Campaigner 350.org Indonesia.
“Di ulang tahun BNI ke-77, BNI memilih untuk terlibat dalam memperparah laju krisis iklim dengan mendanai PLTU batu-bara baru. Kontribusi pendanaan BNI ke Adaro meningkat sebesar 714% sejak 2021,” jelas Suriadi Darmoko.
BNI adalah salah satu dari lima bank yang menjadi anggota sindikasi pinjaman untuk proyek milik Adaro. Empat bank lainnya, berdasarkan penelusuran data oleh tim peneliti kelompok lingkungan adalah Bank Mandiri (BMRI), Bank Central Asia (BBCA), Bank Rakyat Indonesia (BBRI), dan Bank Permata (BNLI). Berdasarkan penelitian, BNI berkontribusi sebesar US$350 juta ke proyek smelter dan PLTU batu-bara baru Adaro.
Segala pendanaan ke aset batu-bara memiliki risiko transisi dan risiko stranded asset yang didorong oleh perubahan kebijakan untuk meninggalkan batu-bara. Studi oleh Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menunjukkan bahwa pembangunan PLTU dinilai merugikan investor termasuk kreditur dan pemegang obligasi.
“Biaya pinjaman modal aset PLTU batu-bara saat ini relatif mahal dibanding industri lainnya, disebabkan karena risiko aset terkait batubara bisa menurun nilainya sejalan dengan fluktuasi harga batubara, perubahan kebijakan negara tujuan ekspor, hingga dianggap tidak sejalan dengan upaya transisi energi. Keputusan bank BNI untuk menyokong proyek PLTU baru ini adalah keputusan yang berisiko tinggi bagi perbankan sekaligus reputasi BNI sendiri.” Jelas Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif dan Ekonom CELIOS.
Dunia saat ini kian beralih dari batu-bara. Skenario IEA NZE 2050 menyatakan bahwa supply batu bara akan turun sampai dengan 48% selama tahun 2021 – 2030 dan 91% selama 2021 – 2050. Terlebih lagi, Indonesia sudah berkomitmen untuk menutup seluruh PLTU batu-bara di tahun 2050.
“Tren global menunjukkan bahwa deposan dan investor institusional termasuk pemegang obligasi cenderung memindahkan dana ke bank yang lebih menjauhi portfolio pembiayaan ke PLTU batu-bara. Terlebih ada komitmen pendanaan JETP (Just Energy Transition Partnership) yang idealnya inline dengan penutupan PLTU batu-bara. Agak aneh jika bank masih terjebak pada pola pendanaan PLTU disaat pemerintah sudah berkomitmen terhadap penutupan PLTU. Artinya, ada yang tidak sinkron antara perintah dari pusat dan bank BUMN yang seharusnya membantu pemerintah mendorong ekonomi berkelanjutan. ” Tambah Bhima.
Dari kelima bank Indonesia yang mendanai proyek tersebut, tidak ada yang memiliki kebijakan untuk membatasi portfolio batu-bara. Meskipun lebih dari lebih dari 200 institusi keuangan termasuk bank global memiliki kebijakan pembatasan tersebut.
Beberapa bank menegaskan komitmen mereka melalui aliansi Net Zero Banking Alliance (NZBA) yang mewajibkan anggota aliansi tersebut untuk membersihkan portfolio dari batu-bara, sejalan dengan target iklim global.
“Kebijakan ESG BNI saat ini tidak cukup untuk membatasi pendanaan aset batu-bara baru. Maka, sudah waktunya BNI mengikuti komitmen iklim bank-bank global dan menyatakan komitmen yang tegas untuk keluar dari batu-bara dan menyelaraskan seluruh portofolio dengan net zero di tahun 2050.” Sebut Nabilla Gunawan dari Market Forces.