KATACARA, SURABAYA – Indonesia kini sedang mengalami fenomena Digital Divide. Tak terkecuali di dunia pendidikan tinggi. Ada kampus yang fasilitas digitalnya komplit karena mampu membuat sistem akademik kampusnya sendiri dengan biaya miliaran rupiah. Tapi masih banyak kampus yang hingga kini fasilitas digitalnya terbatas karena tak memiliki uang sebanyak itu.
Kampus-kampus dengan fasilitas digital terbatas ini, akhirnya belajar menggunakan papan tulis kapur, melakukan proses pendaftaran dan pembayaran kuliah harus mengantri panjang di bawah terik matahari, dan masih mengerjakan seluruh proses administrasi dan birokrasi dengan bertumpuk-tumpuk kertas, manual, dan melelahkan.
Lebih parahnya, kondisi ini terjadi tidak hanya di daerah terluar Indonesia. Kondisi ini juga terjadi di Pulau Jawa. Utamanya di kampus swasta dengan jumlah mahasiswa yang sedikit. Hal ini diungkapkan Dr Budi Djatmiko selaku Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), dan Andry Huzain selaku Chief Marketing Officer dari Education Technology SEVIMA, pada kolaborasi yang terlaksana dalam Webinar SEVIMA, Selasa (04/07). Webinar ini gratis dan dihadiri 5.000 rektor dan dosen dari seluruh Indonesia,
“Oleh karenanya fenomena ini disebut sebagai digital divide. Kampus bukan dipisahkan oleh jarak, tapi oleh kemampuan digital. Dampaknya fatal, kampus yang sudah digitalisasi, apalagi kampus negeri, pendaftarnya jutaan. Sedangkan kampus kecil yang tidak melakukan digitalisasi, pasti akan tersisih, akhirnya jumlah pendaftar dan kemampuan keuangannya makin sedikit, dan makin sulit lagi untuk melakukan digitalisasi. Kampus sudah waktunya di-cloud, ada di awan!,” ungkap Budi Djatmiko.
- Wamendag Optimis Sektor Dagang Indonesia Tetap Unggul di Era Trump
- Siswa SMA Negeri 3 Bogor Memenangkan lomba Diplomasi Internasional di Thailand
- Institut Teknologi Del Buktikan AI Bisa Hasilkan Segudang Manfaat untuk Pendidikan & Masyarakat
- Kolaborasi Riset Mikroplastik, UPER dengan Dua Universitas Asia Raih Pendanaan Rp 1,4 Miliar
- Revolusi Pendidikan dengan Teknologi, SEVIMA Terima Penghargaan dari ITS di Momen Hari Pahlawan
Merevolusi paradigma digitalisasi kampus konon harus berbiaya mahal, SEVIMA hadir untuk memecahkan kesenjangan digital dengan menyajikan alternatif terbaru. Digitalisasi kini tak harus dilakukan kampus dengan membuat aplikasi sendiri, tapi cukup menggunakan aplikasi dari SEVIMA yang tidak perlu beli server fisik sama sekali. Semuanya berbasis Cloud dan keamanannya telah tersertifikasi secara internasional.
Secara teknis, aplikasi ini berbasis Software as a Service (SaaS). Dengan disrupsi biaya dan teknologi tersebut, SEVIMA melejit hingga kini telah melayani lebih dari 800 kampus dan 3 juta mahasiswa seluruh Indonesia sebagai penggunanya.
“Ide awalnya adalah SEVIMA sebagai Education Technology yang berdiri sejak Tahun 2003, mengerjakan proyek sistem akademik untuk kampus besar. Ternyata antar kampus, masalah sekaligus “obat”-nya relatif mirip-mirip. Jadi kenapa tidak satu aplikasi saja, lalu semua kampus bisa menggunakan? Kami buatlah SEVIMA Platform, dengan konsep SaaS dan berbasis Cloud, bahkan bisa gratis dalam aplikasi versi Community,” ungkap Andry Huzain, Chief Marketing Officer SEVIMA, yang juga mantan direktur di Detik.com dan MNC.
Kolaborasi untuk Mengatasi Kesenjangan Digital
Sistem Akademik berbasis Software as a Service (SaaS) yang dikembangkan Education Technology SEVIMA, kemudian disebut sebagai “SEVIMA Platform”, merevolusi digitalisasi kampus karena mampu menghadirkan solusi atas berbagai masalah administrasi kampus.
Masalah tersebut seperti proses penerimaan mahasiswa, pembayaran kuliah, pembelajaran online, akreditasi, penerbitan ijazah, hingga pelaporan data kampus kepada pemerintah, yang dulunya harus diinput satu persatu melalui excel, dicetak, ataupun lewat aplikasi yang beragam. Dengan SEVIMA Platform, semua proses tersebut bisa berlangsung dengan serba otomatis dan saling terintegrasi.
Kehadiran SEVIMA juga mampu mendemokratisasi digitalisasi dan integrasi business process pengelolaan kampus, karena akhirnya fasilitas ini dapat diakses oleh masyarakat luas. Aksesnya juga tak harus menggunakan laptop, bisa juga menggunakan handphone.
“Bagian dari ekosistem platform kami -SevimaPay-, juga menjadi payment aggregator di 800 kampus untuk bisa membayar uang kuliah melalui minimarket. Nampaknya sederhana, tapi sangat berarti bagi mahasiswa yang sebelumnya harus bayar manual di kampus dan belum memiliki akses ke perbankan. Inilah cara kita untuk memecahkan kesenjangan digital,” ungkap Andry Huzain.
Kebersamaan dan gotong royong, juga menjadi cara SEVIMA mengubah paradigma bahwa digitalisasi bisa menjadi hak semua orang dan kampus tanpa kecuali. Sampai akhirnya hadir Komunitas SEVIMA, yang sifatnya organik dan bottom up, dengan grup Facebook beranggotakan 5.000 lebih operator IT di kampus.
“Komunitas ini saling bertukar pengalaman dan masukan pengembangan, menyebarkan informasi tentang SEVIMA, menyalurkan Beasiswa kuliah S1 gratis bersama para menteri dan pejabat tinggi negara, dan rutin berjejaring dan berkumpul lewat event Seminar dan Webinar berskala nasional. Bahkan hingga saat ini, SEVIMA memegang Rekor MURI sebagai Webinar dengan peserta Rektor terbanyak se-Indonesia,” lanjut Andry Huzain.
Perjuangan mendemokratisasi akses digital di kampus tersebut akan terus dilakukan SEVIMA sesuai dengan misi perusahaan, #RevolutionizeEducation. SEVIMA kini beranggotakan 220 orang personil dan berkantor pusat di Surabaya, Jawa Timur.
“Kampus di Indonesia ada 4.500, yang sudah menggunakan SEVIMA ada 800an kampus. Komitmen kami sangat kuat untuk memperluas demokratisasi kampus, bersama-sama merevolusi pendidikan tinggi. Akses digital harus tersedia untuk semua orang dan semua kampus tanpa terkecuali!,” pungkas Andry Huzain.