Katacara, Jakarta– United Nations Environment Programme (UNEP) merilis Emission Gap Report 2022 yang menekankan gentingnya perubahan iklim yang sedang kita hadapi. UNEP mengungkap bahwa Nationally Determined Contributions (NDC) yang ditetapkan pada COP26 2021, belum memberikan dampak positif terhadap pemanasan global. Dengan kebijakan NDC yang ada, suhu bumi diperkirakan akan meroket dari 1,15⁰ di 2022 menjadi 2,8⁰ di akhir milenium.
Dengan melonjaknya temperatur global, permukaan air laut diestimasi akan naik hingga 56 cm, berpotensi menenggelamkan kota-kota pesisir. Akibatnya, ratusan juta penduduk terpaksa direlokasi. Ilmuwan memprediksi gelombang panas laut akan menghancurkan terumbu karang dan biota laut. Jika bumi mencapai suhu 2⁰, sebanyak 73% populasi global akan menderita gelombang panas setiap lima tahun.
“Pemerintah Indonesia telah menetapkan Enhanced Nationally Determined Contribution dengan meningkatkan target pengurangan emisi gas rumah kaca melalui kemampuan sendiri dari 29% menjadi 31,89%. Sedangkan target dengan dukungan internasional meningkat dari 41% menjadi ke 43,2%. Untuk mendukungnya, CSR Pertamina melalui Pertamina Foundation meluncurkan Blue Carbon Initiatives sebagai salah satu prioritas ESG Pertamina. Roadmap empat tahun Blue Carbon Initiatives ditargetkan untuk mencapai dampak positif melalui proyek reforestasi dan konservasi hutan, membangun desa energi berdikari serta perlindungan biodiversitas,” sebut Presiden Direktur Pertamina Foundation Agus Mashud S. Asngari, dalam wawancara di pembukaan Simposium Internasional Blue Carbon (19/12).
- UPER Gelaran E-Sport Pertama yang Manfaatkan Energi Terbarukan
- Kolaborasi Tiga Entitas Jadi Kunci Atasi Job-Education Mismatch
- Mahasiswa UPER Bagikan Kiat Persiapan Belajar Ke Amerika
- Antisipasi Megathrust: Tips Siap Siaga Bencana dari Para Ahli
- UPH FESTIVAL 2024: Sambut Lebih dari 5.000 Mahasiswa Baru, UPH Dorong Mahasiswa Bijak Manfaatkan Teknologi AI
Simposium internasional bertema “The Role of Blue Carbon in REDD+ and NDC”, diinisiasi Pertamina Foundation berkolaborasi dengan Universitas Pertamina dan ECADIN. Gelaran ini dihadiri pakar bidang lingkungan dari dalam dan luar negeri, membahas kebijakan biodiversitas di wilayah ASEAN, peran blue carbon dalam ekosistem pesisir dan perkembangan serta peluang pemanfaatan blue carbon.
Carlo M. Carlos, pakar bidang lingkungan dari ASEAN Center for Biodiversity, menyampaikan upaya ASEAN dalam mengurangi dampak negatif emisi karbon melalui program ’22 Action Target for 2030′. “Melalui ASEAN Center for Biodiversity, kami mengkoordinasikan upaya konservasi dan keberlanjutan biodiversitas di negara-negara ASEAN. Diantaranya melalui ASEAN Youth Biodiversity Programme, reduksi polusi, pengelolaan sumber daya alam, pengembangan kapasitas dan lain-lain,” jelas Carlos.
Di Indonesia, blue carbon tersebar melalui ekosistem pesisir seperti hutan bakau, hutan mangrove dan padang lamun. Indonesia memiliki 23% dari total luasan hutan mangrove dunia, atau sekitar 3,22 juta ha. Potensi jumlah cadangan blue carbon yang dapat diserap di Indonesia mencapai 891,7 ton C/ha.
Besarnya peluang ekosistem pesisir ini menjadi salah satu fokus utama dalam rancangan kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dr. Novi Susetyo Adi, Peneliti Pusat Riset Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menyampaikan Indonesia memasukkan hutan mangrove dalam rencana program reducing emissions from deforestation and forest degradation plus (REDD+) berskala yurisdiksi di bawah Dana Karbon Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (Forest Carbon Partnership Facility / FCPF).
Namun besarnya peluang tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia juga harus bersiap dalam menghadapi tantangan dalam pengembangan blue carbon. Dr. A’an Johan Wahyudi sebagai perwakilan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional mengungkapkan bahwa Indonesia akan menghadapi tantangan pengembangan berbagai vegetasi yang tumbuh di ekosistem pesisir dan laut, pengembangan area konservasi dan pengurangan emisi karbon.
Sementara itu, Prof Catherine Lovelock dari School of Biological Sciences The University of Queensland menyampaikan bahwa berdasarkan penelitiannya, pengembangan blue carbon memiliki banyak manfaat. Tidak hanya menambah keberagaman biofisik, blue carbon mampu membawa peluang finansial seperti objek wisata. Blue carbon juga menghasilkan keragaman hayati, melindungi pesisir pantai, menjaga kualitas air serta menjaga biota laut.
Rektor Universitas Pertamina, Prof. Ir. I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja, Ph.D., berharap simposium internasional ini dapat membangun kolaborasi riset dan jejaring peneliti blue carbon.
“Universitas Pertamina bersama mitra-mitra dalam dan luar negeri, mengumpulkan para pakar untuk membahas tantangan, potensi dan usulan rekomendasi guna pengembangan blue carbon kepada Pertamina maupun pemerintah” tutupnya.